Selasa, 05 April 2016

PENGGUNAAN BAHASA GAUL DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI


REMAJA POPULER DAN FENOMENA BAHASA GAUL (ALAY)

 Bahasa Gaul

Bahasa gaul adalah ragam bahasa Indonesia nonstandar yang lazim digunakan di Jakarta pada tahun 1980-an hingga saat ini menggantikan bahasa prokem yang lebih lazim dipakai pada tahun-tahun sebelumnya. Bahasa gaul merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk pergaulan. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai bahasa anak jalanan. Namun, seiring bertambahnya waktu bahasa prokem yang tadinya hanya dipakai para preman atau anak jalanan sebagai bahasa rahasia beralih fungsi menjadi bahasa gaul. Bahasa gaul pada umumnya digunakan sebagai sarana komunikasi di antara remaja sekelompoknya selama kurun tertentu. Hal ini dikarenakan, remaja memiliki bahasa tersendiri dalam mengungkapkan ekspresi diri. Sarana komunikasi diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok usia lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya.
Pada dasarnya ragam bahasa gaul remaja memiliki ciri khusus, singkat, lincah, dan kreatif. Banyak kasus kosakata yang digunakan cenderung pendek, sementara kata yang agak panjang diperpendek melalui proses morfologi atau menggantinya dengan kata yang lebih pendek. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan awalan ‘e’ kata ‘emang’ yang merupakan bentukan dari kata ‘memang’ yang disisipkan bunyi ‘e’. Di sini jelas terlihat terjadi pemendekan kata berupa menghilangkan huruf depan ‘m’. Sehingga terjadi perbedaan saat melafalkan kata tersebut dan merancu dari kata aslinya. Kombinasi ‘k, a, g’ kata ‘kagak’ bentukan dari kata ‘tidak’ yang bunyinya ‘tid’ diganti ‘kag’. Huruf konsonan pada kata pertama diganti dengan k huruf vokal ‘i’ diganti ‘a’ huruf konsonan kedua diganti ‘g’, sehingga kata ‘tidak’ menjadi ‘kagak’. Sisipan ‘e’ kata ‘temen’ merupakan bentukan dari kata ‘teman’ yang huruf vokal ‘a’ menjadi ‘e’. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan pelafalan.
Cara pengucapan bahasa gaul dilafalkan secara sama seperti halnya bahasa Indonesia. Partikel yang sering dipakai adalah sih, nih, tuh, dong, merupakan sebagian dari partikel-partikel bahasa prokem yang membuatnya terasa lebih hidup dan menghubungkan satu anak muda dengan anak muda lain dan membuat mereka merasa berbeda dengan orang-orang tua yang berbahasa baku. Partikel-partikel ini walaupun pendek namun memiliki arti yang jauh melebihi jumlah huruf yang menyusunnya. Kebanyakan partikel mampu memberikan informasi tambahan kepada orang lain yang tidak dapat dilakukan oleh bahasa Indonesia baku seperti tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar, suasana hati dan ekspresi pembicara, dan suasana pada kalimat tersebut diucapkan. Contoh yang sering diucapkan oleh kebanyakan orang adalah  ‘sudah pasti dong’ yang artinya dalam bahasa baku Indonesia adalah ‘sudah pasti’ atau ‘tentu saja’.
Perkembangan bahasa gaul ini di dukung oleh perkembangan kognitif yang menurut Jean Peaget telah mencapai tahap operasional formal. Sejalan dengan perkembangan psikis remaja,  sebetulnya mereka sedang berada pada fase pencarian jati diri, pada tahap ini kemampuan berbahasa pada remaja mulai berbeda meskipun terkadang menyimpang dari norma umum. Oleh karena itu, kondisi remaja pada tahap ini merupakan kondisi paling sulit antara berbuat “sama” atau “tidak sama” dengan teman-temannya, jika mereka berbahasa “tidak sama” artinya mereka tidak akan dapat diterima dikelompoknya atau mungkin dikatakan sebagai “remaja kolot”.
Menurut Alatas, bahasa gaul adalah bahasa yang digunakan untuk berteman dan bersahabat di tengah masyarakat. Bahasa gaul merupakan bentuk ragam bahasa yang digunakan oleh penutur remaja. Dalam konteks modern, bahasa gaul merupakan dialek bahasa Indonesia nonformal yang  digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial. Media-media populer seperti televisi, radio, dunia perfilman nasional, juga merupakan pemakai bahasa gaul.
Menurut Sahertian, awal istilah-istilah dalam bahasa gaul itu muncul untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Oleh karena sering digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.
Deddy Mulyana dalam buku karangannya yang berjudul pengantar ilmu komunikasi menjelaskan bahwa bahasa gaul ini digunakan untuk memproteksi kelompok mereka dari komunitas lain. Sehingga komunikasi yang mereka lakukan, hanya kelompok mereka saja yang mengerti. Hal tersebut menunjukan bahwa remaja dalam kelompoknya membuat tata bahasa tersendiri agar orang lain tidak memahami apa yang dibicarakan atau mungkin agar kelihatan lebih gaul.
Remaja dan Dunia Populer

    Populer tidak dilihat dari pelaku-pelaku populer, tetapi dipandang dari sudut pandang orang yang berada di luar dunia populer sehingga memungkinkan lahirnya tawaran keanekaragaman dan perbedaan ketika diinterpretasi ulang oleh masyarakat di luar dunia populer itu sendiri. Meskipun demikian, budaya populer bukan diidentifikasi oleh rakyat secara keseluruhan, melainkan oleh orang lain yang berada di luar dunia populer dan masih menyandang dua makna kuno, yaitu jenis karya inferior[2] dan karya yang secara sengaja dibuat agar disukai orang (Williams, 1985: 237). Terkait dengan penjelasan Williams, Strinati (2009: 25-26) mengungkapkan tiga pendapat yang menjadi inti teori budaya populer pada abad kedua puluh yaitu; pertama, apa atau siapa yang menentukan budaya populer, kedua, berkenaan dengan pengaruh komersialisasi dan industrialisasi terhadap budaya populer, dan ketiga, menyangkut peran ideologis budaya populer itu sendiri.
    Gaya hidup populer erat kaitannya dengan remaja. Pada umumnya, gaya hidup populer biasanya melekat pada remaja yang memiliki kebiasaan hidup glamour, dan hura-hura. Gaya hidup pada remaja juga merupakan sebuah identitas kelompok dengan tipologi gaya hidup tertentu, hal ini dikarenakan gaya hidup dapat dipahami sebagai pola atau bentuk kehidupan sehari-hari dari seseorang atau sekolompok remaja untuk mengekspresikan dirinya yang terkadang disertai pula dengan harapan untuk bisa menjadi bagian dari kelompok tertentu. Gaya hidup ini dapat diketahui melalui kegiatan atau aktivitas, minat dan opini ataupun dari sikap remaja itu sendiri terhadap sesuatu hal.
Remaja dicitrakan sebagai konsumen utama dalam penyebar luasan produk-produk populer. Gaya hidup remaja yang cenderung mengikuti arus perkembangan zaman menjadi penanda utama akan hadirnya persepsi demikian. Pemasaran produk-produk populer untuk remaja, sebagai kategori yang berbeda dengan orang dewasa dan anak-anak telah ada sejak kata remaja ditemukan oleh industri periklanan Amerika pada tahun 1941, hingga tingkat pemasarannya menjadi berubah dramatis ketika kehidupan remaja menjadi komersial (Quart, 2008: xx).
     Saat ini, remaja adalah korban produksi barang-barang mewah. Remaja masa kini tumbuh dan berkembang pada masa dimana merek dan popularitas merajalela. Mereka adalah kelompok yang mudah dieksploitasi oleh dunia populer. Kehidupan remaja dipengaruhi oleh pemasaran dan promosi, sebagai konsumen produk-produk populer dan sebagai anak-anak yang memperhatikan identitas diri dan menampilkan citra diri melalui apa yang mereka gunakan[3].
Iklan, dan televisi, yang menampilkan remaja sebagai model-model mereka selalu menambahkan citra populer dan sukses dengan penggunaan merek-merek terkenal ataupun bentuk tubuh dan tampilan wajah layaknya seorang bintang. Terciptanya konsep kecantikan ala putri-putri dalam dongeng bagi remaja putri, semakin menjadikan mereka sebagai penggila style. Tak jarang kemudian ditemukan remaja yang begitu tergila-gila dengan merek tertentu hanya karena merek-merek tersebut dipakai oleh artis idola mereka, hingga menjadikan mereka sebagai ‘penjiplak’[4].
Persoalan yang tidak jauh berbeda juga tampak dalam bacaan-bacaan populer masa kini seperti majalah dan novel remaja yang menggambarkan konsep berbahasa yang ebih modern. Perbincangan seputar bacaan-bacaan populer, pada akhirnya menghadirkan wacana baru tentang bagaimana memaknai bahasa gaul dalam kontestasi medan budaya populer, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya populer yang cenderung dekat dengan remaja. Artinya, remaja dibayangkan sebagai subjek aktif yang juga bisa mencitrakan dirinya dalam tradisi media kapitalis dan dekat dengan gaya hidup. Hal tersebut pada dasarnya berasal dari satu pemahaman bahwa untuk melawan hegemoni populer, para remaja tidak harus menghindari dunia kapitalis mainstream, tetapi bagaimana sebisa mungkin menegosiasikan dan mengartikulasikan kepentingan mereka dalam representasi-representasi populer, baik berupa musik, iklan tv, maupun bacaan-bacaan populer.
Ashadi Siregar (2004) mengungkapkan hal yang juga tidak terpisahkan dari bacaan-bacaan populer adalah penggunaan gaya bahasa dialek remaja Jakarta. Penggunaan dialek tersebut tidak hanya dalam dialog yang fungsinya menciptakan suasana dan mengacaukan lingkungan budaya. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan penggunaan bahasa yang keluar dari tujuan komunikasi dimana bahasa tidak hanya untuk menampung cerita ataupun menghidarkan keindahan, tetapi untuk menyiratkan simbol bahwa bacaan populer merupakan produk kelas tertentu. Keterampilan berbahasa semacam itu mencerminkan adanya “pendekatan” dengan suasana Jakarta. Budaya populer tidak lain dari formulasi impian massanya, gambaran remaja dalam majalah, film, dan bacaan popular seperti novel semata-mata dimaksudkan untuk terjual di pasaran yang selamanya akan menjual mimpi-mimpi indah dan kesenangan sesaat mampu mengurangi beban dan memberikan hiburan. Kodrat budaya populer selamanya hanya sampai pada titik penyampaian impian dan hiburan, impian yang ditawarkan akan berfungsi sebagai eskapisme bagi massanya yang muncul dari kenyataan yang ada. Berawal dari menampilkan gaya berbahasa remaja Jakarta, bahasa anak muda, atau dikenal pula sebagai bahasa gaul dalam iklan, televisi, dan bacaan populer membentuk adanya ragam bahasa non formal yang kemudian hadir dan dekat dengan dunia remaja.
Pada dasarnya, ada dua hal utama yang menjadi perhatian remaja, yaitu identitas dan pengakuan. Penggunaan dan penulisan bahasa dengan ciri khasnya bisa menjadi pembentukan kedua hal tersebut di atas. Terdapat dua alasan utama mengapa remaja menggunakan bahasa tulis dengan ciri tersendiri, pertama, mereka mengukuhkan diri sebagai kelompok sosial tertentu, yaitu remaja. Kedua, merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi bahasa baku atau kaidah bahasa yang telah mapan. Yang berarti bahwa remaja merasa menciptakan identitas dari bahasa yang mereka ciptakan sendiri pula. Remaja sebagai kelompok usia yang sedang mencari identitas diri memiliki kekhasan dalam menggunakan bahasa lisan maupu tulis. Terdapat semacam keseragaman gaya yang kemudian menjadi gaya hidup mereka. Remaja yang masih labil dan gemar meniru sangat mudah tertular dan memilih menggunakan bahasa semacam ini dibanding menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Terlebih hadirnya anggapan bahwa bentuk-bentuk bahasa tersebut adalah bahasa gaul, sehingga mereka yang tidak menggunakannya akan dianggap ketinggalan jaman atau kuno.

Bahasa Gaul (Alay)

     Bahasa hanya bisa muncul akibat adanya interaksi sosial. Dalam interaksisosial terjadi saling pengaruh mempengaruhi. Dalam proses interaksi, orang yang lebih aktif melakukan komunikasi akan mendominasi interaksi tersebut. Maka tak heran apabila suatu bahasa lebih banyak dipakai, maka bahasa itu akan berkembang dalam masyarakat. Bahasa dan masyarakat akan selalu menjadi pasangan yang mengisi satu sama lain, karena adanya interaksi sosial yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, sebenarnya masih ada alat lain untuk berkomunikasi akan tetapi bahasa mungkin yang terbaik dalam berkomunikasi. Di dalamnya ada penutur dan juga tindak tutur, bahasa yang bersifat arbitrer dan bersifat universal sangat memungkinkan utuk melahirkan kata-kata atau padanan baru dalam bahasa tersebut.
Perkembangan bahasa pada masyarakat kita mungkin sudah sejak dahulu mengalami perkembangan misalnya di era Sembilan puluhan yang pernah menjadi “trend” yaitu bahasa prokem atau bahasa gaul yang di populerkan oleh remaja pada waktu itu. Demkian halnya pada remaja saat ini mungkin kita sudah sangat sering dan sangat familiar sekali dengan yang namanya komunitas anak layangan atau yang lebih dikenal dengan nama “alay”. Alay itu sendiri adalah singkatan dari Anak layangan, Alah lebay, Anak Layu, atau Anak keLayapan yang menghubungkannya dengan anak jarpul (Jarang Pulang). Tapi yang paling santer adalah anak layangan. Dominannya, istilah ini untuk menggambarkan anak yg sok keren, secara fashion, karya (musik) maupun kelakuan secara umum.
Alay diartikan “anak kampung”, karena anak kampung yang rata-rata berambut merah dan berkulit sawo gelap karena kebanyakan main layangan. Gejala anak layang ini biasanya ditunjukan dengan cara mengubah gaya tulisan, dan gaya berpakain, sekaligus meningkatkan kenarsisan. Anak layangan atau alay ini sama seperti komunitas lainnya yang memiliki bahasa tersendiri yang sebagian besar hanya komunitas merekalah yang mengerti dan memahami tulisan maupun bahasa mereka. Mengapa dikatakan sebagian besar hanya anak alay yang mengerti bahasa ataupun tulisan mereka, ini dikarenakan bahasa alay sangat sulit di mengerti atau dibaca oleh orang awam yang tidak biasa berbahasa alay. Akan tetapi bahasa ini dianggap oleh komunitas alay sebagai bahasa yang biasa-biasa saja karena simple. Bahasa Alay ini juga sedikit mengadopsi sedikit logat – logat ke-melayuan, dan hingga saat ini bahasa ini telah dipakai untuk SMS , Chatting/jejaring sosial, ataupun untuk penulisan sehari- hari. Bahasa alay juga banyak digunakan oleh sebagian selebritis dan kalangan remaja tertentu lainnya. Secara perlahan bahasa ini juga merambah kalangan remaja terutama di kota-kota besar.
Dikarenakan aturan pembentukan kata bahasa alay cenderung tidak konsisten, maka untuk orang awam dibutuhkan waktu untuk menghafal dan memahaminya. Bahasa alay dapat diartikan sebagai variasi bahasa yang bersifat sementara yang biasanya berupa singkatan menggabungkan huruf dengan angka, memperpanjang atau memperpendek dan mencampurkan huruf besar dan kecil membentuk sebuah kata maupun kalimat. Bahasa alay lebih sering digunakan oleh anak-anak remaja seumuran SMP maupun SMU, yang secara tidak langsung bahasa tersebut menjadi suatu budaya. Uniknya, bahasa pergaulan yang sebenarnya diciptakan untuk kalangan terbatas justru berkembang menjadi bahasa pergaulan yang digunakan bahasa sehari-hari. Hal itu, karena terjadi kebocoran ragam bahasa. Bocor dari kelompok social tertentu ke kelompok social lainnya.
Bahasa Alay muncul pertama kalinya sejak ada program SMS (Short Message Service) atau pesan singkat dari layanan operator yang mengenakan tarif perkarakter ataupun per SMS yang berfungsi untuk menghemat biaya. Namun dalam perkembangannya kata-kata yang disingkat tersebut semakin melenceng, apalagi sekarang sudah ada situs jejaring sosial. Dan sekarang penerapan bahasa Alay sudah diterapkan di situs jejaring sosial tersebut, yang lebih parahnya lagi sudah bukan menyingkat kata lagi, namun sudah merubah kosa katanya bahkan cara penulisannya pun bisa membuat sakit mata orang yang membaca karena menggunakan huruf besar kecil yang diacak ditambah dengan angka dan karakter tanda baca. Bahkan arti kosa katanya pun menceng jauh dari yang dimaksud.
Bahasa alay mulai berkembang melalui jejaring social “facebook” yang terlihat pada wall/dinding di facebook, coment-coment dan status para pengguna facebook yang mungkin sering kali kita lihat atau tidak sengaja membaca kalimat yang berbeda dari tulisan biasanya. Contohnya saja ketika sesorang remaja mengucapkan kata “akuwh yang artinya aku” atau U” yang berarti kamu”. Contoh lainnya yaitu penggunaan bahasa-bahasa alay yang dipakai oleh Indra Herlambang dalam memandu acara Kaca Mata “di salah satu stasiun televisi swasta, Indra mengucapkan kata keren” menjadi krenz” atau, manis” menjadi kata, maniezt”. Kehadiran jejaring social “facebook” harus diakui awalnya sangat ikut mendorong munculnya ragam bahasa tersendiri. Istilah populer bahasa alay, akronim dari anak lebay, yakni bahasa tulis berupa campuran bahasa gaul lisan, bahasa asing khususnya Inggris, singkatan, kode, angka, dan visualisasi. Bahasa ini berkembang di kalangan remaja, namun dalam pergaulan media jejaring sosial juga digunakan orang dewasa bahkan lansia. Semakin lama bahasa ini kian berkembang sehingga seorang dewasa yang telat memiliki akun menggunakan bahasa alay. Bahasa alay pada dasarnya memanfaatkan bahasa prokem anak muda Ibu Kota, ragam bahasa yang berkembang di akhir 1980-an, dan kemudian jadi ragam bahasa media jejaring sosial yang khas. Dalam pergaulan media jejaring sosial, bahasa alay dipergunakan sebagai bahasa pergaulan, karena sifatnya yang unik, lucu, aneh bila didengar, yang maknanya bisa jadi bertentangan dengan arti yang lazim. Pesatnya perkembangan jumlah pengguna bahasa Alay menunjukkan semakin akrabnya genersai muda Indonesia denga dunia teknologi terutama internet. Munculnya bahasa Alay juga menunjukkan adanya perkembangan zaman yang dinamis, karena suatu bahasa harus menyesuaikan dengan masyarakat penggunanya agar tetap eksis.
Bahasa alay ini bukan hanya alat komunikasi, namun juga alat identifikasi. Para remaja menggunakan bahasa alay ini bisa jadi untuk mengidentifikasikan diri mereka sebagai seorang alay. Pengunaan bahasa alay juga dapat berguna untuk menumbuhkan eksistensi diri. Bahasa ini digunakan oleh kalangan remaja sebagai bahasa kode atau singkatan agar kata-kata menjadi aneh, lucu dan menarik. Tidak dipungkiri hingga sekarang bahasa alay semakin luas pemakaiannya dan semakin banyak para remaja bahkan orang dewasa menggunkan penulisan atau pengucapan bahsa alay karena adanya unsur daya tarik yang membuat orang orang yang sebelumnya kurang paham akan bahasa alay ini menjadi ingin tahu dan akhirnya mengikuti menggucapkan atau menulis dengan bahasa alay.
Bahasa alay merupakan fenomena tersendiri di kalangan masyarakat khususnya remaja di indonesia. Bahasa alay biasanya digunakan dalam penulisanpenulisan pada obrolan yang informal seperti tulisan dan kalimat-kalimat yang di tulis di media facebook. yang sifatnya menghibur, menjalin keakraban, atau untuk mencairkan suasana, karena menurut para alayers ( sebutan untuk anak alay ) apabila memakai bahasa atau penulisan baku suasana yang terjadi cenderung formal dan tidak akrab.
Bahasa alay dapat memberikan manfaat dan efek positif khususnya bagi alayers itu sendri:
  1. Sebagai sarana komunikasi yang menarik bagi alayers karena menurut mereka dengan menggunakan bahasa alay berarti mereka telah menganekaragamkan bahasa khususnya pada remaja yang semula hanya menggunakan bahasa daerah atau bahasa Indonesia.
  2. Sebagai sarana penuangan kreativitas dalam penulisan-penulisan yang non formal agar terlihat unik, karena dengan penulisan bahasa alay yang berbeda dengan penulisan bahasa pada umumnya yang berupa penggabungan huruf dan angka maupun penambahan komponen huruf di setiap kata mereka (alayers) dianggap kreatif karena bisa menciptakan tulisan tulisan yang unik dan menarik pada penulisan non formal.
Selain memberikan manfaat dan efek positif, bahasa alay juga dapat memberikan kerugian maupun efek negative. Kerugian itu antara lain:
  1. Bahasa Alay dapat menyulitkan orang umum (yang tidak mengerti bahasa alay) untuk membaca tulisan dengan gaya alay Misalnya ketika menulis besok datang ke rumah saya, ditulis dengan b350k dtg k3 hoZz sAia, sehingga pesan yang disampaikan tidak dimengerti oleh pihak ke dua yang mengakibatkan pesan sesungguhnya tidak tersampaikan.
  2. Membuat tulisan dengan style alay pada dasarnya membuang waktu, misalnya saja jika mengetik SMS biasa hanya perlu 1 sekon per huruf, dan total waktu untuk 1 sms berisi 100 karakter adalah 100 sekon, maka dengan diubahnya gaya penulisan sms tadi menjadi alay, secara otomatis jumlah karakter yang ditulis akan bertambah hingga mampu mencapai angka 3 kali lipat dari keperluan, dan waktunya menjadi 300 sekon ini jelas sekali sangat berdampak tidak efisien dan tidak efektif baik dari segi pulsa maupun waktu.
  3. Jika terbiasa menggunkan penulisan dengan bahasa alay, pemakai dapat lupa akan bahasa Indonesia sesuai EYD dan ini sangat tidak baik dan tidak sopan, Misalnya seorang yang mengirimkan pesan singkat kepada guru atau orang yang lebih tua menggunakan penulisan alay ini menimbulkan pemikiran oleh orang yang menerima pesan bahwa yang mengirimkan pesan adalah orang yang tidak sopan dan tidak menghormati orang yang lebih tua.
  4. Seseorang yang suka menggunakan bahasa Alay diasumsikan oleh masyarakat umum khusus nya para remaja sebagai seseorang yang kampungan atau norak sehingga dipandang sebelah mata oleh remaja pada umumnya.

Remaja Pengguna Bahasa Alay

    Remaja pengguna bahasa alay mayoritasterjadi pada remaja perempuan. Hal ini dikarenakan pada remaja perempuan lebih “narsis” dari pada remaja laki-laki mulai dari cara berbicara, menulis hingga kenarsisan dalam bergaya, misalnya kalau di foto biasanya mulutnya di gembungin/di monyongin, mukanya kadang di keratin, memiliki nama id Facebook yang panjang dan aneh seperti “ pRinceSs cuTez,sHa luccU”. Selain karena lebih “narsis” remaja perempuan juga diidentifikasi lebih sering membuka jejaring social facebook mereka dibandingkan dengan remaja laki-laki yang hanya sesekali mengapdate facebook mereka, jauh sekali dibandingkan dengan remaja perempuan yang hampir 5-10 kali sehari membuka jejaring facebook mereka hanya untuk mengganti foto atau mengapdate status facebook. Dimanapun dan kapanpun mereka bisa membuka facebook karena dipermudah oleh provider-provider yang menwarkan banyak aplikasi yang berhubungan dengan jejaring social facebook.
Bahasa alay mayoritas digunakan oleh anak remaja usia SMP-SMA yang dikategorikan sebgai remaja namun. Pada dasarnya ada dua hal utama yang menjadi perhatian remaja menggunakan bahasa alay di Facebook , yaitu identitas dan pengakuan. Penulisan bahasa alay dengan ciri khasnya bisa jadi pembentukan kedua hal di atas. Menurut Lina Meilinawati, pengamat bahasa dari Fakultas Sastra Indonesia Unpad, ada dua hal alasan utama remaja menggunakan bahasa tulis dengan ciri tersendiri (alay), “Pertama, mereka mengukuhkan diri sebagai kelompok sosial tertentu, yaitu remaja. Yang kedua, ini merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi bahasa baku atau kaidah bahasa yang telah mapan,” jelasnya. Artinya, remaja merasa menciptakan identitas dari bahasa yang mereka ciptakan sendiri pula. Remaja sebagai kelompok usia SMP-SMA yang sedang mencari identitas diri memiliki kekhasan dalam menggunakan bahasa tulis di facebook.
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa perkembangan teknologi dan budaya asing saat ini sangat berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari. Terutama dalam kehidupan serta pergaulan remaja. Dengan semakin majunya teknologi dan ditambah dengan pengaruh budaya asing tersebut, maka akan mengubah sikap, perilaku serta kebiasaan mereka dari segi kebiasaan maupun dalam perkembangan bahasa dikalangan remaja khususnya, sehingga terjadi perkembangan bahasa seperti bahasa alay ini. Bahasa alay yang sebagian besar tejadi di kota-kota besar berkembang sangat cepat karena di kota-kota besar. Teknologi yang menunjang perkembangan gaya hidup ( lifestyle ) lebih cepat dibandingkan dengan di daerah. Dengan semakin mudah mengakses teknologi canggih semakin mudah pula
perkembangan lifestyle itu terjadi seperti yang terjadi pada teknologi jejaring facebook.


Pengaruh Bahasa Gaul terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar di Kalangan Remaja
 
Saat ini banyak sekali remaja yang menciptakan bahasa gaul, yaitu bahasa baku yang diubah, sehingga terkadang orang dewasa tidak memahami bahasa apa yang dikatakan oleh para remaja tersebut. Remaja cenderung lebih menyukai bahasa gaul daripada menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Supaya mereka lebih terlihat modern, dan akhirnya mulai lunturnya kecintaan pada bahasa Indonesia adalah hal yang harus dihindari.
Bahasa gaul dapat timbul dimana saja,. Bahasa yang digunakan oleh anak muda pada umumnya ini muncul dari kreativitas mengolah kata baku dalam bahasa Indonesia menjadi kata yang tidak baku. Bahasa gaul bisa ditemukan di mana saja, karena bahasa gaul dapat timbul di iklan tevisi, lirik lagu remaja, novel remaja dan banyak lagi. Inilah kenyataan bahwa tumbuhnya bahasa gaul di tengah eksistensi bahasa Indonesia tidak dapat dihindari, ini karena pengaruh perkembangan alat komunikasi yang terus berkembang dan karena bahasa gaul dipakai anak muda kebanyakan maka bahasa baku akan tergeser eksistensinya. Apalagi dengan maraknya dunia kalangan artis menggunakan bahasa gaul di media massa dan elektronik, membuat remaja semakin sering menirukannya di kehidupan sehari-hari hal ini sudah menjadi wajar karena remaja suka meniru hal-hal yang baru. Inilah yang menjadi awal lunturnya bahasa Indonesia yang baik dan berganti dengan bahasa gaul.
Orang tua berkewajiban untuk mengajarkan penggunaan bahasa yang baik dan benar kepada anak sejak kecil. Penggunaan bahasa yang baik dapat mempermudah dalam menyampaikan informasi. Di dalam kehidupan sehari-hari seharusnya digunakan tata bahasa yang baik dan benar supaya masyarakat khususnya remaja terbiasa untuk berkomunikasi secara lebih efektif. Adanya bahasa gaul juga sangat mempengaruhi etika seseorang dalam berkomunikasi.
Kata-kata yang digunakan dalam berbicara seseorang dapat mencerminkan kemampuan berpikir dan tingkat kepribadiannya. Kepribadian seseorang yang baik dapat memilih apa saja yang harus diucapkan dan dibicarakan. Tidak berlebihan jika seseorang yang pandai berbahasa Indonesia, ia akan merasa diterima dan dihargai oleh berbagai kalangan. Ada beberapa solusi yang dapat meningkatkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar yaitu, menyadarkan dan memotivasi remaja akan fungsi dan pentingnya bahasa yang baku. Selanjutnya, hal ini juga membutuhkan suatu upaya pembiasaan, artinya, remaja dilatih untuk berbahasa secara tepat, baik secara lisan maupun tulis setiap saat setidaknya selama berada di lingkungan sekolah. Pembiasaan ini akan sangat mempengaruhi perkembangan kemampuan berbahasa pada remaja. Proses penyadaran dan pembiasaan tidak kalah penting, hal ini akan menimbulkan keinginan remaja untuk mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar.

  Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
 
Bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Sutan Takdir Alisyahbana (dalam Maksan, 1994: 1) menjelaskan bahwa bahasa adalah ucapan pikiran manusia dengan teratur memakai alat bunyi. Gorys Keraf (dalam Maksan, 1994: 1)  mengemukakan bahwa bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang menggunakan simbol-simbol vokal yang arbitrer, yang dapat diperbuat dengan gerak-gerak badaniah yang nyata.
Atmazaki (2007: 5) menyatakan bahwa bahasa merupakan fenomena mental, yaitu suatu kemampuan yang sudah dibawa manusia sejak lahir. Pada sisi lain, bahasa marupakan fenomena kemasyarakatan, yaitu penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi di dalam membentuk dan karena bentukan masyarakat. Jadi, bahasa merupakan suatu sistem yang berfungsi sosial (fungsional). Dengan demikian, bahasa adalah alat komunikasi yang dengannya manusia dapat menyampaikan pikiran perasaan kepada orang lain secara lebih tepat.
Muslich (2010: 9) mengatakan bahwa pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku melahirkan bahasa yang benar.  Orang yang mampu menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apapun jenisnya itu, dianggap berbahasa yang efektif. Ini berhubungan dengan pemilihan ragam-ragam yang ada ketika orang dihadapkan pada bermacam ragam komunikasi. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang demikian tidak selalu harus baku, misalnya dalam tawar-menawar di pasar. Jadi, menggunakan bahasa yang baik (tepat) tidak termasuk bahasa yang benar. Sebaliknya, seseorang mungkin berbahasa yang benar yang tidak baik penerapannya karena suasananya menurut ragam yang lain. Anjuran agar kita berbahasa yang baik dan benar dapat diartikan sebagai pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan yang mengikuti kaidah bahasa yang benar.
Sugono (2009: 21-23) menjelaskan bahwa  kriteria yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar adalah kaidah bahasa. Kaidah itu meliputi aspek tata bunyi (fonologi), tata bahasa (kata dan kalimat), kosakata (termasuk istilah), ejaan, dan makna. Sedangkan, kriteria penggunaan bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Kebutuhan itu bertalian dengan topik yang dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak berbicara (kalau lisan) atau pembaca (jika tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa bahasa yang gunakan logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat yang ada.




 DAFTAR PUSTAKA

Ashadi, Siregar. 2004. Popularisasi Gaya Hidup: Sisi Remaja dalam Komunikasi Massa. Lifestyle Ecstasy. Idi Subandi Ibrahim (ed). Yogyakarta: Jalasutra.

Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

___________. 2004. Budaya Massa: Catatan Konseptual tentang Produk Budaya dan Hiburan Massa. Lifestyle Ecstasy. Idi Subandi Ibrahim (ed). Yogyakarta: Jalasutra.

Buku Mini: Bahasaku Indonesia, Stemmare, dalam Seminar “Potret Buram Sumpah Pemuda 1928: Digitalisasi Bahasa Indonesia”, Jakarta, 9 Oktober 2010.

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies Teori dan Praktik. Penerjemah Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barnard, Malcolm. 2011. Fashion Sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.

Budiman, Hiikmat. 2008. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Bullock, Anthony, Oliver Stallybrass & Stephen Trombley, 1988. The Harper Dictionory of Modern Thought. New York: Harper & Row, Publisher

Chaney, David. 2011. Lifestyle; Sebuah Pengantar Komprehensif. Penerjemah Nuraeni. Yogyakarta: Jalasutra.

Fiske, John. 2000. Reading The Popular. London and New York: Routledge.

Ibrahim, Idi Subandi. 2010. Memahami Mitos-mitos Budaya Populer dalam “Masyarakat Komunikasi” Mutakhir (sebuah pengantar). Roland Barthes. Membeda Mitos-Mitos Budaya Massa (edisi terjemahan). Jogyakarta: Jalasutra.

________________. 2004. Lifestyle Ecstacy: Kebudayaan Pop dalam “Masyarakat Komoditas” Indonesia. Lifestyle Ecstasy. Idi Subandi Ibrahim (ed). Yogyakarta: Jalasutra.

Jalaluddin Rakhmat. 2004. Generasi Muda di Tengah Arus Perkembangan Informasi. Lifestyle Ecstasy. Idi Subandi Ibrahim (ed). Yogyakarta: Jalasutra.

Keraf, Gorys. 1993. Komposisi. Cetakan IX. Ende Flores: Nusa Inda

___________. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Cet. Keenam belas. Jakarta: Gramedia.

Pangabean, Maruli. 2006. Bahasa Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: Gramedia.
Santoso, Kusno Budi. 1990. Problematika Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.

Sarwono, Sarlito W. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Steinberg, L. 2002. Adolescence. Sixth Edition. New York: Mc Graw-Hill.

Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Penerjemah Laily Rahmawati. Yogyakarta: Jalasutra

Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Penerjemah Abdul Muchid.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Williams, Raymond. 1960. Cultural and Society. New York: Anchor Book

_______. 1985. Keywords. United States: Oxford University Press.

Wilis, Sofyan S. 1994. Problema Remaja dan Pemecahannya. Bandung: Angkasa

Kompas, 5 Mei 2007.”Fenomena Bahasa Alay”,hlm 12.
http://softskilbahasaindonesia.blogspot.com. analisis-peranan-bahasa-indonesia-dalam.html (diakses, 26 November 2012 )

http://wartawarga.gunadarma.ac.id pengaruh-bahasa-gaul-dalam-perkembangan-bahasa-indonesia (diakses, 26 November 2012)
http://fredypurbayadhyfha.wordpress.com pemakaian-bahasa-gaul-mempengaruhi-perkembangan-bahasa-indonesia/ (diakses, 27 November 2012)
Sofa. 2009. Penggunaan Ragam Bahasa Gaul Dikalangan Remaja (online), (www.penggunaan-ragam-bahasa-gaul-dikalangan-remaja , diakses, 26 Oktober 2009)

1 komentar:

  1. Artikel yang bagus... semoga terus berkembang blognya... Saya ingin berbagi article tentang Tokyo Disneyland di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/05/tokyo-disneyland-di-istana_12.html
    Lihat juga video di youtube https://youtu.be/ilDiFkV61rY

    BalasHapus